NONA NANONANO

Rabu, 21 Oktober 2009

NATASHA CHRISTY











"HIDUP ITU INDAH UNTUK DI NIKMATI" 
"BERSYUKURLAH SELALU ATAS HIDUP YANG KAMU JALANI" 

Sebait kalimat ini memang mudah untuk di ucapkan. tetapi, apa yang terjadi bila dalam keadaan yang sulit kalimat tersebut di praktekkan dalam keseharian kita??? 
eitttts... tunggu dulu. Mungkin hanya satu di antara seribu orang orang terpilih yang sanggup.
Tetapi, di dalam Jesus tiada yang mustahil, tiada yang tidak sanggup. 

Panggil aku Nathasa Christy,
anak pertama dari tiga orang bersaudara. 
Terlahir sebagai anak sulung dari tiga orang bersaudara, awalnya menyenang. 
setelah semakin bertambahnya usia aku merasa, menjadi sulung memiliki beban yang cukup berat untuk ku. cukup membuat tekanan batin dan bisa jadi depresi berat.
Hiperbola banget ya? ya, ya aku tahu, tapi itu yang aku rasakan. 

Lahir dari keluarga sederhana, hingga untuk makan sehari-hari saja membutuhkan perjuangan yang extra. Hidup di lingkungan yang keras, membentuk aku menjadi seorang anak yang tegar dan lebih dewasa dari umurku. 
Bagiku, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) antara Papah dengan Mamah, atau antara Orang tua dengan Anak adalah pemandangan yang biasa. 

*** Tiiittttt .... titittttt .... tittt.... 
Jam beker yang ada di kamar ku membangunkan ku tepat di pukul 05.00 am 
"Wuoiiiiiii... bangun bangun!!! Aya...ya... Adde...!!! ayo bangun!!!" teriakan ku untuk membangunkan mereka, kali ini berhasil. Tidak seperti hari biasanya, yang harus membutuhkan percikan air untuk membangunkan mereka. 

"AAAaaaaaa...aaa...!!!" 
Berdiri tanpa alas kaki di hamparan pasir putih di pinggir pantai, aku, Aya, dan Adde berteriak sekeras kerasnya. Mungkin ini adalah salah satu cara sebagai pelampiasan terhadap apa yang kami alami selama ini. 

"huuhhh ... apa yang kalian rasakan saat ini???" tanyaku kemudian ketika kami sudah terduduk di hamparan pasir sambil menatap lepas ke arah laut. 

"dingginnn..." jawab mereka kompak 

"iiihhh... goblok, bukan itu yang ku maksud. aku juga dingin tau!" nadaku mulai meninggi 

"yeee...itu aja marah. kontrol emosi napa?! Aya ngerti kok apa yang kaka maksud" sambungnya dengan nada yang tidak kalah tinggi. 

"trus loe, de?!" lirikku pada Adde "ngerti - ngerti" jawabnya tenang 

"trus..." 
"ya mau gimana lagi, Papah emang orangnya kaya gitu... bahkan kita yang sudah se-gede ini saja, Papah masih suka maen fisik. Tahu gak? Aya tuh kadang rasanya pengen banget ngebalas, tapi... kata hati Aya menahan untuk tidak melakukan hal itu" 
cerita Aya panjang lebar 

"kenapa???" 

"ya...ya, aku juga takutlah, di pasang stempel di jidat sebagai anak durhaka" 

"lantas loe,de?" 

"entahlah..." 
"lho? kok ntahlah??" 
"menurutku, Papa itu baru akan berhenti dari sifatnya yang seperti itu kalau ada Malaikat   maut yang merenggut nyawanya. kalu gak gitu, berarti kita tunggu usai perang dunia ke   delapan   kali..." 
itulah jawaban yang selalu keluar dari mulut mereka berdua setelah beberapa kali aku menanyakan pertanyaan yang sama. 

"pulang yuk..." ajak ku sambil berdiri dan mengibas pasir yang menempel 

"kalo kakak? apa yang kakak rasakan?" tanya Aya terdiam beberapa saat. 
"sesak ... rasanya ingin berontak,tapi..." aku terdiam
"takut di stempel sebagai anak durhaka ya! hehehehe..." todong Aya dengan tawa mengejek.

*** "PERSAUDARAAN YANG KOMPAK" 
kalimat itu yang sering kami dengar dari lingkungan sekitar kami. 
Aku, Aya, dan Adde, selalu saling menjaga. ketika di rumah, kami selalu bersikap manis dan penurut, yah... mau di bilang, itu adalah tunjukan rasa hormat kami pada orang tua kami terutama terhadap sang Bunda. 
Tetapi, itu tidak berlaku kalu kami berada di luar rumah. Masing - masing kami mulai beraksi dengan kebrutalan kami. Seperti Adde yang tenang, pendendam, suka banget dengan tawuran, dan kejam menganiaya. 
Aku dengan sifatku yang gampang emosian dan kebiasaan "drag race" alias balapan liar, temen-teman yang berduit selalu memakai ku untuk bertaruh, dan Aya?
gadis kecil yang selalu di manja oleh kedua kakak nya, itu membuatnya tidak terlalu perduli dengan perasaan lawan bicaranya, intinya gak pernah di saring terlebih dahulu kalau dia ingin bicara. Jujur, semuanya itu hanyalah pelampiasan kami terhadap penindasan yang dilakukan Papa pada kami terlebih pada Bunda. 
Papa adalah seorang pecandu minuman keras, Papa juga pernah jadi buron dari beberapa kasus. kalau mau ku hitung, sebenarnya kami bisa saja jadi orang kaya. Hanya saja, jika pengeruh alkohol yang Papa minum mulai bereaksi maka, tidak hanya Bunda saja yang di pukulnya. Semua barang-barang yang ada di rumah posisinya akan terbalik, mulai dari meja, kursi, lemari,piring, gelas, dan lain lain. 

Papa juga 'tak segan - segan menghajar kami jika kami berusaha melindungi Bunda dari pukulan-pukulan maut Papa. Hampir tiap hari, mamah dan kami selalu salah di mata Papa. Perlakuan inilah yang buat kami marah pada Tuhan, rasanya Tuhan sungguh tidak adil, Tuhan pilih kasih. kenapa keluarga lain yang di sana bisa tertawa bahagia??? sementara kami??? kami juga bahkan tidak pernah berdoa, tidak pernah ke gereja - kalopun ke gereja, itu karna terpaksa. Kami juga pernah meminta Bunda untuk menceraikan Papa. 
Tapi,Bunda tidak pernah mau. 

"Bunda yakin, Tuhan punya rencana yang indah untuk kita semua" itu jawaban yang selalu Bunda berikan untuk kami. 
Suatu malam, aku terbangun dari tidurku. Samar-samar aku seperti mendengar suara orang sedang ngobrol, suara itu berasal dari kamar Bunda. Dari cela kecil aku mengintip. aku terpanah, terharu, aku melihat Bunda sedang dalam keadaan berlutut dan berdoa: 

"Tuhan, aku mengucap syukur untuk hari-hari kami. Mengucap syukur untuk semuanya, suami dan anak-anak serta semua berkat Mu Tuhan bagi kami. Ajar Hamba untuk tetap setia pada Mu dan mampu untuk menjalani semua ini tanpa keluh pada Mu. 
Hamba rindu keluarga Hamba di pulihkan ..." 
butiran - butiran bening menggenang dimataku. Sungguh, aku tersentuh mendengar doa Bunda. Bunda adalah sosok perempuan yang paling kuat yang pernah aku kenal. 
Dua puluh tahun Bunda hidup seperti ini, tapi Bunda tidak pernah mengeluh, malah sebaliknya Mamah menjalaninya dengan penuh ucapan syukur. 

*** Hari ini, 04.desember.1999 - pukul 06.00pm 
"Happy birthday Bunda! we love you so much..." 
"terima kasih, sayang! Mamah juga sayang kalian semua" peluk hangat Mamah membuat mata ini berkaca-kaca. 

"okeeehhh... sekarang waktunya Bunda berdoa dan tiup lilin" ucap Aya sambil buru-buru mengambil kue yang disimpan di meja. 
Kue yang di beli dari hasil tabungan kami bertiga sebagai hadiah buat Bunda. 
Sesaat suasana hening ...dan, waktu Bunda membuka mata, aku melihat butiran bening itu membasahi pipinya. 
Tenggorokanku terasa sakit dan sesak, dan aku tahu kalu itu akibat dari aku menahan air mata ku. Sayangnya momentum ini harus kami nikmati tanpa kehadiran Papa. 
Opsss ...!!! Pintu ruang tamu berbunyi. 
kami terdiam, kami tahu, itu pasti Papa. Matanya yang merah dan tampangnya yang urakan, meyakinkan aku kalo Papa baru saja selesai pesta alkohol. 

"Papa! sudah pulang? Pasti capek. Biar Bunda buatkan kopi" Jujur, dalam hatiku marah dan tidak terima atas sambutan hangat yang di berikan Bunda untuk Papa. 
"Adde, tolong bantu kakak mu buatkan kopi dan air hangat untuk Papa mandi" 
kami masih saja terpaku, setelah Aya lalu menarik tangan kami untuk segera menuju ke dapur. 

"kue apa ini???" tanya papah dengan nada kasar 
"ooh...ini, ini kue ulang tahun untuk aku, yang dibelikan anak-anak. Papa lupa ya? hari ini 'kan ulang tahun ku?" 
"KAMU BUTA yaaa!!! makan saja tidak cukup. 
Untuk apa beli-beli seperti ini (melempar kue itu ke tanah) mo gayaaa??!!! 
Sok jadi orang kaya??!!! Haaaa??!!!
" BRAAA ...AAKKKK...!!! 
Aku kaget, tidak tahu bunyi apa itu. Tapi, aku lalu mendengar bunyi tamparan diikuti isak tangis Bunda yang di tahan. 
"ini sudah kelewatan" ku lihat Adde pun terpancing emosinya 
" adde...de...Adee!! mo kemana kamu?!" tanyaku lalu mengikutinya 
"sudah cukup sabar aku, kak... kali ini Papa sudah betul-betul kelewatan" 
"cukup de, cukuppp..." jantungku berdegup kencang, dan aku merasa seperti darahku mengalir lebih cepat. 
Ini untuk pertama kalinya aku berdoa, sungguh... dan tulus memohon... 
"Tuhan tolong! Jangan sampai ada pertumpahan darah". Tenagaku tidaklah seberapa kuat untuk menahan Adde yang sudah membawa sekop di tangannya dan berjalan ke arah Papa. 

"aya... cepat minta bantuan... CEPATTTT...!!!" teriakku panik. 

*** Praak...kkkk...!!! satu hantaman, mendarat ke Papa. 
Hufff ... untung Papa menyilih, tidak telak mengenai area kepala  Papa. 
Papah sadar kalu itu Adde dan itu membuat Papa seperti kerasukan untuk membunuh anaknya sendiri. 
Sesaat suasana jadi kacau oleh amukan Papa, teriakan Bunda dan aku, serta Adde bercampur menjadi satu. kaki Papa yang di tahan oleh Bunda membuat Bunda beberapa kali terkena tendangan kuat Papa, 
Pukulan yang tepat di dadaku juga membuatku jadi sesak menarik napas kerena berusaha memeluk Papa. 
Beberapa orang tetangga yang mendengar riuh itu datang dan melerai. 
Adde di amankan, Bunda juga, sementara Papa terus saja mengoceh, aku terduduk di kursi yang 'tak jauh dari Papah. Sungguh, pukulan tadi membuatku beneran sesak napas hufff ... Aku mendengar semuanya.
Caci maki, sumpah serapah, penyangkalan dan banyak lagi bahasa amarah lainnya.
Tetapi, selang beberapa jam kemudian suasana menjadi berubah lagi. 
Ku lihat Papa menangis, ada darah yang mengalir dari kepala dan cela jari-jari kaki Papa, walau masih pusing dan takut, aku tetap memberanikan diri mendekati Papa yang masih tertunduk dan menangis, sambil membawa air hangat, kain bersih, serta kapas dan obat merah. Mulanya Papah menolak untuk aku obati. 
Dengan nada yang tinggi dan berkaca-kaca aku berkata : 

"okey...!!! kalau memang Papa marah besar sama kami, tidak apa-apa. tapi, tolong!!! 
Tolong simpan dulu amarah Papa sampai Natha selesai mengobati luka Papa. 
Natha tidak mau lihat Papa mati karena kehabisan darah di depan anak Papa sendiri, yang sebenarnya bisa menolong" 
"apa menurut Natha, itu baik??" tanya papah dalam keadaan setengah terisak 
"apanya? maksud ku ..." masih serius membersihkan luka Papa 
"perlakuan adik mu pada Papa? senakal-nakalnya Papa pada oma dan opa mu dulu
tapi, Papa tidak pernah sampai memukuli mereka. 
kenapa...? Kenapa darah daging Papa sendiri ingin menghabisi Papa ...???" 
Jujur, aku tidak tahu seperti apa perasaanku saat ini untuk menjawab pertanyaan Papa. 
Haruskah aku bahagia karena Adde sudah memberi pelajar pada Papa ??? 
atau,haruskah aku sedih atas sikap Adde itu?!. aku tidak tahu ... 

"Papa sudah makan?" ia hanya menggeleng 
"aku buatkan mie ya... biar Papa bisa minum obat" 
Papa sudah istirahat, sementara aku harus mengerahkan tenaga ku untuk membersihkan serpihan-serpihan yang super berantakan dari perang keluarga yang baru saja berlalu. 

*** Satu bulan sudah berlalu ... 
Aku tahu kalau emosi Papa masih membara, itu sebabnya aku meminta Adde untuk tidak pulang dulu. sementara aku, Aya, dan BUnda kembali ke rumah dan bersikap seperti biasa. suasana rumah kaku.
Hingga suatu malam, ketika kami makan malam bersama
"hmm, coba kalau kak' Adde ada disini, pasti ramai!" aku dan Bunda hanya diam, 
menahan napas, mendengar celetukan Aya, 
aku deg-deg-an, takut kalau Papa kambuh lagi dengan perang keluarga. 

"Papa mau ini ?" ucapku mengalihkan. 
Papah tidak menjawab ku, ia lalu menyimpan piring dari tangannya dan menuju ke kamar.

Aneh ??? Papa berubah jadi melow ?
"Papah mau kemana? sudah malam, Papah masih sakit" tanya Bunda 
"mau panggil Adde untuk pulang" 

Apa? Kalimat itu?  Sungguh, aku tidak percaya ???! 

"emang Papa tahu, Adde dimana?" 
"Natha, Papa bukan anak kecil" 
"Papa yakin, dengan apa yang baru saja Papa ucapkan tadi?" 
Papa hanya terdiam menatap. 

"biar Natha saja yang panggil Adde. Natha tau dimana Adde" langsung bergegas bangun dari tempat duduk.

Ternyata, diam-diam, selama ini mungkin Papah merenung. 


*** Moment ini ... 
'tak 'kan terlupakan! Tuhan menjawab doa Bunda, 
wanita paruh baya yang tak pernah putus asa itu. Tetap teguh, 'tak mengeluh dan selalu menjalani hidup dengan penuh syukur. 
Semua terlepas tanpa beban, sama - sama berdoa, dan saling memaafkan. 
Keluarga ini telah di menangkan. Dan Semenjak kejadian malam ini, 
berdoa bersama, ke gereja, meninggalkan semua kebiasaan lalu, dan berkomitmen untuk percaya pada Tuhan. 
Bukti nyata dari kesetiaan dan doa Bunda, 
Tuhan buat semuanya sempurna pada waktu-NYA. 

Ia menunjukan bahwa inilah kasih-NYA pada kita, kasih yang menyelamatkan. 

*** (1yoh 4:10) 
"inilah kasih itu: bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus anak-Nya sebagai perdamaian bagi dosa-dosa kita" [tamat]






[Ide cerita, Adelweis 25122005]





Kamis, 15 Oktober 2009

JANGAN BILANG MAMA

Langkah kecil itu begitu ceria... 
langkah tanpa beban hidup, seperti seorang yang begitu menikmati kerasnya hidup di dunia ini. 
Siang itu, cuaca agak mendung, awan hitam tidak memberi kesempatan kepada matahari untuk bebas bersinar seperti hari hari biasanya. 
Gita mengayunkan langkah nya untuk kembali ke rutinitas sehari hari nya, setelah dia pulang dari sekolah siang ini. 
Gadis kecil berkulit sawo matang, bermata coklat dan punya bentuk gigi ginsul, dengan panjang rambut sebahunya yang sering ia kuncir dua, 
yang juga menjadi mode andalannya itu, memang selalu ceria menjalani hari harinya bersama dengan adiknya Bibin, yang masih duduk di bangku TK. 
Sementara Gita sendiri masih duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar. 
Brigitta perez dan Robin Perez terpaut 5tahun, dan Gita begitu sayang pada Bibin 
(begitu nama kecil yang di beri Gita untuk Robin). 

*** "slamat siang mama" ucap Gita sambil mencium tangan sang Bunda, yang mungkin sedari tadi menunggu kepulangan nya. 

"siang juga Gita ..." 
"mama, hari ini Gita gak ada PR jadi, Gita boleh ya baca buku cerita dan bermain dengan teman teman Gita. boleh ya, ma?" tanya Gita penuh semangat, sambil dengan telaten melepas sepatu yang masih melekat di kaki mungilnya itu. 

"iya, mama ijinkan. Tapi, kali ini kamu 'gak boleh main keluar. 
Kamu mama ijinkan membaca buku cerita yang kamu pinjam itu. 
Mama mau keluar. dengar itu gita ?" ucap mamanya menegaskan 

"iya mama ... trus, Bibin tinggal ma gita?" 
"Bibin nanti sama mama. oya, nanti ... mama juga bakal sampai malam karna mama masih     mampir di tempatnya tante Tita. Gita bilang sama Papa kalau Papa sudah pulang kantor   nanti. Kamu juga jangan sampai tidak tidur siang. Bilang kak'Martha untuk buatin air hangat   untuk mandi sore mu" 
"iya mama, nanti gita bilangin ke Papa juga ke kak'Martha kalau sudah pulang nanti. Gita janji, Gita akan jadi anak yang baik selama mama gak ada di rumah nanti" 
"ya sudah, kamu makan dulu baru main ... mama mau berangkat dulu ya..." 
"hati hati mama, da...da...da... Bibin" 
Gita lalu melambaikan tangan nya pada Bibin setelah menciumi kedua pipi adenya dan lalu menggembok pintu pagar rumah. 

*** Titttt ... titttt ... bunyi klakson motor itu membuyarkan konsentrasi Gita kecil yang sedang asyik dengan buku cerita favoritnya RosaSelarose yang baru di pinjamnya dari perpustakaan sekolah sepulang tadi. Buru buru ia bangkit berdiri dan belari ke depan untuk membuka pintu pagar. Gita sudah hafal betul, bunyi klakson motor sang ayah setiap kali kalau pulang dari kantor. 
"selamat siang Papa... selamat pulang" itulah ucapan sambutan yang di berikan untuk sang ayah dari Gita maupun Bibin, bila sang ayah pulang dari kantor. 
Gita lalu menerima tas kantor milik ayahnya tersebut dan menaruhnya di tempat yang sudah di siapkan, tidak lama kemudian, Gita keluar dengan segelas air putih di tangannya yang siap untuk di berikan kepada sang ayah. 
"makasih sayang. Bibin mana? mama juga? kok gak kelihatan?" 
tanya ayah padanya setelah meneguk air putih yang di bawakan Gita, sementara Gita, seperti biasa, dengan telaten mengerjakan salah satu tugas rutinnya, membuka sepatu dan kaos kaki yang melekat di kaki sang ayah. 

"Mama dan Bibin, pergi ke rumah tante Tita. ka'Martha belum pulang. kata mama: baru pulang nanti malam" 
"ya sudah ... kalu gitu. biar nanti Papa yang ambil makannya sendiri. Gita tadi lagi ngapain?" "lagi sementara baca buku cerita Papa ..." 
"kalo gitu, Gita lanjutin aja baca buku ceritanya" 
"iya, terima kasih papa..." senyum manis terukir di bibir mungil Gita. 
Sesaat gita sudah kembali di atas tempat tidurnya dan kembali menekuni cerita yang di design full collor tersebut. 

*** Waktu sudah menunjukan pukul 01.00pm, Gita kecil sudah setengah tertidur dan bermimpi tentang cerita RosaSelarosa. Dari balik pintu yang tidak terkunci itu, sang ayah lalu masuk dan mendekatinya.
Sesaat terlihat, ayah tersenyum. 'Ntah apa yang di pikirkan oleh sang ayah. Satu kecupan mendarat di kening Gita dari sang ayah yang akhirnya lalu menyadarkan Gita. 
Sambil mengucak ngucak matanya "papa..." 
"coba lihat, apa yang papa bawa untuk Gita..." 
"permen ya Pa?" gita balik bertanya 
"pinter" 
"buat Gita dan Bibin ya Pa ...?" 
"hari ini hanya buat Gita saja, kan Bibinnya lagi sama mama" 
"tapi permennya banyak Pa, Gita mau ninggalin buat Bibin juga ..." 
"ya udah, terserah Gita. 'kan permennya sudah jadi milik Gita" 
"terima kasih Papa" ucap Gita dengan penuh semangat. 
Gita lalu memeluk Papa nya dan menciumi kedua pipi Papanya, namun ... siang itu, 'ntah apa yang ada dalam pikiran sang ayah, 'ntah apa yang merasuki pikiran sang ayah,  Gita hanya bisa pasrah tanpa melawan. Kekuatan Gita kecil untuk melawan sang ayah tidak seberapa besar di banding tenaga sang ayah. Sesekali Gita terdengar merintih kesakitan namun, ia benar benar tak kuasa. Sang ayah yang tanpa belas kasihan terus menodai anaknya sendiri. saat Gita terduduk di sudut tempat tidur, dia hanya terdiam, terisak, pandangannya menerawang jauh, matanya berkaca-kaca. sekali lagi Gita seperti berusaha menahan isak tangis yang dalam. Samar - samar dia mendengar suara yang memanggilnya. 

"Gitaa... Gitaaa ..." 
"iya Papa ..." 
kepalanya masih tertunduk, dengan suara yang hampir tidak terdengar sama sekali. 
"Gita, jangan bilang mama ya?" sambil mengusap kepala mungilnya. Lama ia berpikir. 
'Ntah apa yang sedang di pikirkan oleh sang Gita kecil, airmatanya lalu menetes membasahi pipinya. sementara sang ayah, lalu berjalan keluar dengan langkah yang terlihat tanpa sedikitpun merasa bersalah meniggalkan Gita yang masih meneteskan air mata dan dengan keadaan (maaf) setengah tak berbusana. Gita lalu menjawab dalam hatinya. 

"iya Papa, Gita janji! Gita tidak akan bilang ke mama" Gita belum terlalu mengerti benar tentang apa yang baru saja ia alami. 
Tetapi hatinya seperti benar benar sangat hancur, memikirkan perlakuan sang ayah terhadapnya. Perlakuan yang tidak seharusnya dilakukan oleh sang ayah terhadap sang anak.

Semua rasanya runtuh, Gita tidak mengerti, apa ini?, apa ini?, apa yang terjadi?.
Gita masih terlalu kecil memang untuk mengerti tentang ini.
Hingga larut ketika Mama dan Bibin kembali, semua terlihat biasa.
Beberapa kali Gita berharap Mama bisa memberi pertanyaan, Mama bisa merasakan apa yang sedang Gita tutup tutupi tapi sayang, Mama tidak terlalu peka membaca Gita. 

Hari-hari kembali berlalu seperti biasa, dan ayah menampakan diri seperti tidak 
terjadi apa apa antara mereka. Semua terasa baik baik saja. 
Gita selalu memiliki ketakutan jika Gita harus sendiri dengan ayah.
Sejak kejadian itu, adalah yang pertama dan terakhir kalinya ayah menyentuhnya seintim itu.

Lagi-lagi Gita terus menyalahkan dirinya yang adalah anak nakal dan tidak patuh, 
Gita menerimanya sebagai suatu hukuman dari ayah untuknya. 


 *** Sudah sepuluh tahun berlalu sejak kejadian itu. Gita kecil yang penurut dan periang itu sudah tumbuh menjadi gadis manis yang anggun dan dewasa. Tetapi, dia bukan Gita kecil yang penurut dan periang seperti dulu. Gita tumbuh menjadi seorang gadis yang tertutup, pemalu, bahkan tidak percaya diri, menutup diri dengan lingkungan. 
Gita ini adalah Gita yang masih tetap dengan janjinya 

"Gita tidak akan bilang Mama" dan Gita yang berpikir 
"biarlah Gita yang menjadi korban. Jangan sampai kebahagiaan Bunda, aku rebut, 
hanya dengan cerita seorang Gita kecil yang polos dan yang belum tentu juga di percayai oleh semua orang. 
Biarlah Gita tetap bertahan dengan janjinya. 
JANJI untuk TIDAK AKAN BILANG KE MAMA" 

*** "Gittt ... Git...Gitaaaa ...!!!" 
"iya ..." 
teriakan Ronald membuyarkan lamunannya, saat ia sedang duduk di bawa pohon lamtoro yang ada di depan ruang fakultas kampusnya. 

"ngapain kamu sendirian di situ?" 
"haa...ngg...nggak kok" 
"ya udah, buruan masuk kelas. Pak Anton nya sudah datang tuhhh ..." 
"oh, ya... makasih ya Nald" 

Gita lalu melangkah masuk ke kelas dengan memamerkan senyum terima kasihnya untuk Ronald yang sudah mengingatkannya segera masuk kelas. [tamat]







[write. Adelweis/Pavilliun 3c block O 23022007]